Minggu, 13 Juli 2014

Jawa Jawal Jawil



Pada pukul 19.30 aku dan teman – teman tiba di suatu dusun yang tempatnya di plosok pinggiran kota Jombang, tepatnya di Dusun Kedung Dendeng Desa Jipurapah Kecamatan Pelandaan.  Disambut dengan pandangan aneh oleh masyarakat desa setempat yang membuat aku kaget, “wah, arek – arek ngawur, bengi – bengi mrene”, ucapan dari salah satu warga yang terlintas di telingaku. Setiba aku di lokasi penginapan, beribu rasa yang bercampur dalam pikirku kini telah terjawab semua. Keadaan desa yang asri, ditengah – tengah hamparan sawah dan ditemani dengan terangnya cahaya sang rembulan malam menenagkan pikiranku. “hai pak, jektas teko ta, pye perjalanan ne?” temanku yang sudah terlebih dahulu sampai menyambut kami, “iyo jek, alhamdulillah bisa nyampe, perjalanan ne waw banget jek, opomaneh pas bengi ngeneiki, yo serem – serem seru lah jek” sambut aku akan pertanyaan yang di lontarkan oleh ujek. Setelah beres – beres barang – barang yang dibawa kami menikmati sambil istirahat sejenak kemudian kamipun mengambil wudlu dan sembahyang isya berjamaah.
Gelapnya malam semakin terasa ketika waktu telah menujukan pukul 20.30. Dengan keadaan desa yang belum dipenuhi sinar lampu, yang membuat suasanya semakin terasa lebih indah untuk menikmati indahnya cahaya rembulan pada malam itu. Untuk menikmati malam, maka kami memilih untuk menggelar tikar untuk duduk dan berbincang - bincang di luar rumah dibawah sinar rumbulan. Dalam pembicaraan kami pun terbangun bermacam – macam suasana, ya tidak hanya serius tapi juga banyak guyonan yang timbul dari pembicaraan kami. Setelah lama kami berbincang – bincang, timbul beberapa pertanyaan besar dalam kepalaku. Bagaimana bisa orang – orang bisa tinggal disini, yang tempatnya di pucuk gunung yang sulit dicangkau orang lain, bagaimana mereka bisa betah di tempat ini???  Untuk lebih memperjelas pandanganku mengenai dusun ini, maka aku mengajak teman – teman untuk mengelilingi dusun ini.
Wah, ternyata dusun ini begitu indah, mungkin ini yang membuat orang – orang senang tinggal disini. Pikirku dari pada tinggal di tengah – tengah kota yang dipenuhi hanya degan kendaraan bermotor dan gedung – gedung yang tinggi, lebih nikmat tinggal disini sejuk, tenang dan damai. Yang lebih mengherankan lagi mugkin bukan heran lagi bisa jadi hal yang membuat hatiku tersentuh ketika melihat masyarakat kumpul bersama di suatu tempat dimana tempat itu menjadi pusat mereka unntuk melihat siaran TV, “lhoh, jadi kalau warga mau lihat TV harus kumpul disini ya pak” tanyaku dengan keheranan. “hehehehe iya mas, namanya juga disini belum semuanya punya listrik, jadi ya mau ndak mau harus begini mas” jawab pak warno yang menemaniku mengelilingi dusun. “wah wah wah keren yo jek, jadi warga nek pengen ndlok TV harus ngumpul sek dan iku ndak bisa sakkarepe dewe, ngak koyok awak dewe, pengen ndolk TV tinggal mitek tombol, yo tinggal di olah alih siarane nek ngak seneng ambek siarane!!!” ucapku kepada temanku ujek.
Setelah mengelilingi dusun kemi tetap memilih untuk menikmati cahaya rembulan malam didserah ini. Kamipun memulai pembicaraan sambil ditemani secangkir kopi hitam yang hangat agar membuat kami lebih semangt dan lebi menikmati malam yang indah ini. Pak war membuka pembicaraan dengan menceritakan sejarah daerah ini. Ia menceritakan seolah – olah ia adalah pelaku sejarah, jadi ceritanya sangat jelas bagi kami. Yang lebih mengejutkan lagi ketika pak war menbeberakan tentang konsep hidup manusia dari kata “jawa”, “le, saktenane jawa iku jawal lan terus nek wes jawal menungso iku jawil”. Seketika itu kebingungan besar muncul dari pikiran saya, apa maksud kata jawa jawal jawil itu???. Kemudian pak war melanjutkan ucapanya “ngenelo le, menungso urep iku wes ditentokno gusti pengeran, makane onok wong seng sugeh lan onok wong seng mlarat”. Kebingungan dalam pikiranku tambah lebih besar lagi, setela menenggarkann ucapan dari pak war, dan karena aku penasaran aku memberanikan untuk bertanya ke pak war “lho pak, terus maksud jawa jawal jawi itu nopo pak?” tanyaku kepada pak war, dan pak war pun seketika itu menjelaskan.”ngene, ngena le, jawa itu ibart e wong jowo lan kemudian nek ketika menungso iku ndak sanggup menlakoni cerita hidup e merekapun mulai bimbang mereka wes masuk dalam tahapan jawal atau kebimbangan, kemudian wong seng wes bingung akeh - akhe wong iku jawil atau mengambil jalan pintas ben wong – wong iku isok sugeh, ngoten le”. Setelah pak war menjelaskan konsep mengenai jawa jawal jawil itu saya baru faham dan coba mengamati ucapannya pak war, tidak lama kemudian pak war menyambut ucapannya lagi “wong bien iku buta aksara tapi ucapane mandi” seketika itu saya kaget apa maksud ucapannya pak war, dan pak war masih melanjutka ucapannya “wog apik iku wong seng mengakui kesalahane”. Seketika itu saya mengambil kesimpulan dari seluruh ucapannya pak war kepada kami bahwa pak war ingin memberi nasihat kepada kami, mengenai hakikatnya hidup, dan jangan menjadi orang yang gampang jawal dan jawil dinikmati saja apapun yang terjadi pada cerita kehidupan ini. Tidak itu saja pak war bepesan agar tidak gampang untuk melakukan kesalahan dan menganjurkan unutk menjadi erang yang jujur dengan mengakui apapun yang telah diperbuat.
Tepat pukul 00.00 pak warpun sesegera mengabil ancang – ancang untuk meninggalkan tempat jagongan kami. “le, aku tak istirahat yo, wes bengi mene yo jek akeh penggawean” ucap pamit pak war kepada kami. “enggeh pak” jawab kami dengan serentak. Tak lama pak war meninggalkan tempat jagongan kami, kamipun bersiap untuk istirahat untuk mempersiapkan tenaga untuk petualangan kami besok. Akhirnya kami mengucapkan selamat istirahat kepada rembulan yang menemani kami semalaman.