Pada
pukul 19.30 aku dan teman – teman tiba di suatu dusun yang tempatnya di plosok
pinggiran kota Jombang, tepatnya di Dusun Kedung Dendeng Desa Jipurapah
Kecamatan Pelandaan. Disambut dengan
pandangan aneh oleh masyarakat desa setempat yang membuat aku kaget, “wah, arek
– arek ngawur, bengi – bengi mrene”, ucapan dari salah satu warga yang
terlintas di telingaku. Setiba aku di lokasi penginapan, beribu rasa yang
bercampur dalam pikirku kini telah terjawab semua. Keadaan desa yang asri, ditengah
– tengah hamparan sawah dan ditemani dengan terangnya cahaya sang rembulan
malam menenagkan pikiranku. “hai pak, jektas teko ta, pye perjalanan ne?”
temanku yang sudah terlebih dahulu sampai menyambut kami, “iyo jek,
alhamdulillah bisa nyampe, perjalanan ne waw banget jek, opomaneh pas bengi
ngeneiki, yo serem – serem seru lah jek” sambut aku akan pertanyaan yang di
lontarkan oleh ujek. Setelah beres – beres barang – barang yang dibawa kami
menikmati sambil istirahat sejenak kemudian kamipun mengambil wudlu dan
sembahyang isya berjamaah.
Gelapnya
malam semakin terasa ketika waktu telah menujukan pukul 20.30. Dengan keadaan
desa yang belum dipenuhi sinar lampu, yang membuat suasanya semakin terasa
lebih indah untuk menikmati indahnya cahaya rembulan pada malam itu. Untuk
menikmati malam, maka kami memilih untuk menggelar tikar untuk duduk dan berbincang
- bincang di luar rumah dibawah sinar rumbulan. Dalam pembicaraan kami pun
terbangun bermacam – macam suasana, ya tidak hanya serius tapi juga banyak guyonan
yang timbul dari pembicaraan kami. Setelah lama kami berbincang – bincang,
timbul beberapa pertanyaan besar dalam kepalaku. Bagaimana bisa orang – orang
bisa tinggal disini, yang tempatnya di pucuk gunung yang sulit dicangkau orang
lain, bagaimana mereka bisa betah di tempat ini??? Untuk lebih memperjelas pandanganku mengenai
dusun ini, maka aku mengajak teman – teman untuk mengelilingi dusun ini.
Wah,
ternyata dusun ini begitu indah, mungkin ini yang membuat orang – orang senang
tinggal disini. Pikirku dari pada tinggal di tengah – tengah kota yang dipenuhi
hanya degan kendaraan bermotor dan gedung – gedung yang tinggi, lebih nikmat
tinggal disini sejuk, tenang dan damai. Yang lebih mengherankan lagi mugkin
bukan heran lagi bisa jadi hal yang membuat hatiku tersentuh ketika melihat
masyarakat kumpul bersama di suatu tempat dimana tempat itu menjadi pusat
mereka unntuk melihat siaran TV, “lhoh, jadi kalau warga mau lihat TV harus
kumpul disini ya pak” tanyaku dengan keheranan. “hehehehe iya mas, namanya juga
disini belum semuanya punya listrik, jadi ya mau ndak mau harus begini mas”
jawab pak warno yang menemaniku mengelilingi dusun. “wah wah wah keren yo jek,
jadi warga nek pengen ndlok TV harus ngumpul sek dan iku ndak bisa sakkarepe
dewe, ngak koyok awak dewe, pengen ndolk TV tinggal mitek tombol, yo tinggal di
olah alih siarane nek ngak seneng ambek siarane!!!” ucapku kepada temanku ujek.
Setelah
mengelilingi dusun kemi tetap memilih untuk menikmati cahaya rembulan malam
didserah ini. Kamipun memulai pembicaraan sambil ditemani secangkir kopi hitam
yang hangat agar membuat kami lebih semangt dan lebi menikmati malam yang indah
ini. Pak war membuka pembicaraan dengan menceritakan sejarah daerah ini. Ia
menceritakan seolah – olah ia adalah pelaku sejarah, jadi ceritanya sangat
jelas bagi kami. Yang lebih mengejutkan lagi ketika pak war menbeberakan
tentang konsep hidup manusia dari kata “jawa”, “le, saktenane jawa iku jawal
lan terus nek wes jawal menungso iku jawil”. Seketika itu kebingungan besar
muncul dari pikiran saya, apa maksud kata jawa jawal jawil itu???. Kemudian pak
war melanjutkan ucapanya “ngenelo le, menungso urep iku wes ditentokno gusti
pengeran, makane onok wong seng sugeh lan onok wong seng mlarat”. Kebingungan
dalam pikiranku tambah lebih besar lagi, setela menenggarkann ucapan dari pak
war, dan karena aku penasaran aku memberanikan untuk bertanya ke pak war “lho
pak, terus maksud jawa jawal jawi itu nopo pak?” tanyaku kepada pak war, dan
pak war pun seketika itu menjelaskan.”ngene, ngena le, jawa itu ibart e wong
jowo lan kemudian nek ketika menungso iku ndak sanggup menlakoni cerita hidup e
merekapun mulai bimbang mereka wes masuk dalam tahapan jawal atau kebimbangan,
kemudian wong seng wes bingung akeh - akhe wong iku jawil atau mengambil jalan
pintas ben wong – wong iku isok sugeh, ngoten le”. Setelah pak war menjelaskan
konsep mengenai jawa jawal jawil itu saya baru faham dan coba mengamati
ucapannya pak war, tidak lama kemudian pak war menyambut ucapannya lagi “wong
bien iku buta aksara tapi ucapane mandi” seketika itu saya kaget apa maksud
ucapannya pak war, dan pak war masih melanjutka ucapannya “wog apik iku wong
seng mengakui kesalahane”. Seketika itu saya mengambil kesimpulan dari seluruh
ucapannya pak war kepada kami bahwa pak war ingin memberi nasihat kepada kami,
mengenai hakikatnya hidup, dan jangan menjadi orang yang gampang jawal dan
jawil dinikmati saja apapun yang terjadi pada cerita kehidupan ini. Tidak itu
saja pak war bepesan agar tidak gampang untuk melakukan kesalahan dan
menganjurkan unutk menjadi erang yang jujur dengan mengakui apapun yang telah
diperbuat.
Tepat
pukul 00.00 pak warpun sesegera mengabil ancang – ancang untuk meninggalkan
tempat jagongan kami. “le, aku tak istirahat yo, wes bengi mene yo jek akeh penggawean”
ucap pamit pak war kepada kami. “enggeh pak” jawab kami dengan serentak. Tak
lama pak war meninggalkan tempat jagongan kami, kamipun bersiap untuk istirahat
untuk mempersiapkan tenaga untuk petualangan kami besok. Akhirnya kami
mengucapkan selamat istirahat kepada rembulan yang menemani kami semalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar